"Now I am become Death, the destroyer of worlds. I suppose we all thought that, one way or another." (J. R. Oppenheimer/ Linkin Park, "The Radiance")
Penampilan Linkin Park yang kali kedua datang ke Indonesia setidaknya punya satu misi. Mereka tidak sedang mengajak 10.000-an penonton yang datang untuk bernostalgia ke "Hybrid Theory" atau "Meteora", tapi mereka ingin menunjukkan transformasi ke tujuan baru.
Tujuan itu adalah album konsep mereka yang terakhir, "A Thousand Suns", yang juga didaulat menjadi nama rangkaian tur. Dari 24 lagu yang dibawakan Rabu (21/9), nomor-nomor ajaib (total 11 lagu) dari album yang rilis tahun September 2010 lalu memang menjadi benang merah konser.
Pesan ini sampai dengan samar-samar karena susunan lagu ternyata mengombinasikan lagu baru dan lama.
Dari sisi penonton, kita melihat susunan Brad Delson (gitar) di sudut kiri, Joe Hahn (turntable) berada tepat di depan latar layar raksasa, Chester Bennington (vokal), Mike Shinoda (vokal, gitar, keyboard), Rob Bourdon (drum) dan Dave Farrell (bas) yang terlihat sangat nyaman di sayap kanan panggung.
Performa serbabisa Brad Delson dan Mike Shinoda perlu diacungi jempol, karena mereka terlihat beberapa kali berganti instrumen — mulai dari perkusi, keyboard dan gitar.
Suasana perang, ketakutan dan mesin tertangkap dari beberapa cuplikan video yang ditampilkan serta diracik dengan hebat oleh Joe Hahn. Ini adalah pengantar konsep tema "A Thousand Suns", yang bagi beberapa orang mungkin lebih kentara seperti album yang menceritakan perang manusia versus mesin.
Hebatnya, antara cuplikan video, gocekan turntable dan keluaran suara ditransmisikan dengan sangat sinkron
Linkin Park telah bertransformasi. Beberapa orang mungkin tak suka dengan komposisi baru yang sangat kental irama hip-hop dan stadium rock, tapi nomor-nomor baru macam "Iridescent", "When They Come for Me" dan "The Catalyst" sukses membuat penonton bergoyang dan bernyanyi bersama. Di depan panggung, fans berat Linkin Park terus bergoyang dan kontan bereaksi saat idola mereka mengajak berkomunikasi dan bertepuk tangan serentak.
Tata suara cukup tebal dan mampu mengantarkan detail-detail yang menggugah. Penonton disuguhi aksi perkusi di lagu "When They Come for Me", drum solo singkat pada "Bleed It Out", serta olah vokal liar Chester di nomor "Blackout".
Partisipasi penonton cukup intens. Bagian bridge "One Step Closer" sukses membuat seluruh isi stadion bergemuruh.
Secara keseluruhan, konser tadi malam adalah ramuan yang rapi dan menyenangkan. Linkin Park memang telah akrab dengan atmosfer stadion. Mereka telah mengadaptasi banyak beat dan gerak irama yang membuat kerumunan raksasa bergoyang dan bernyanyi bersama.
Hampir separuh porsi konser memainkan lagu-lagu baru. Sepulangnya dari konser, penonton yang terperangah mungkin akan mulai menyelidiki makhluk apa "A Thousand Suns" itu.
Source : Yahoo Indonesia
memang nampak jelas, LP bertransformasi dari segi musikalitasnya.COba simak perjalanan mereka sejak album perdana. citra mereka begitu kental dgn Scraeamin' khas Chester dan Rapp ala Mike ..dan porsi antara Rapp dgn solo biasa dri chester nampak seimbang.serta chester kerapkali Scream melengking.
BalasHapusnamun semenjak album MINUTES to MIDNIGHT,nampak transformasi itu. perlahan, mike telah berpindah posisi lebih dominant mnjadi guitarist,dan komposisi lagu2 mereka lebih sedikit porsi Rap' yang biasany mnjadi bagian Mike Shinoda.
simak saja lagu VALENTINE's Day; dsb.
nah, smua itu smakin lebih clear di album2 trbaru mrka ini (Tourworld-THOUSAND SUN); lbih bnyak lagu yg mnjadi jatah'a Chester dgn Solo khas'nya.
jarang trdngar rapp khas Mike shinoda.
whateverrr, i'm still Love them!..
gue kenal LP sejak umur 5 thn, dan Prtma kali gue suka Musik,saat itulah gue kenal Linkin Park.
love LP!